top of page

Museum Surabaya





Lokasi Museum Surabaya berada di Lantai Dasar Gedung SIOLA, sebuah gedung cagar budaya,  yang berada di pojok jalan antara Jalan Genteng Kali (gedung bagian samping) dengan Jalan Tunjungan (gedung bagian depan), dan hanya beberapa menit dari Hotel Garden Palace Surabaya.


Sejarah Gedung SIOLA

Sejarah Gedung SIOLA berawal dari tahun 1877 ketika gedung itu untuk pertama kalinya dibangun oleh investor berkebangsaan Inggris bernama Robert Laidlaw (1856-1935), pemilik Whiteaway Laidlaw & Co., salah satu perusahaan ritel terbesar di dunia ketika itu (sekarang, kira-kira seperti Carreefour sekarang). Di gedung yang baru dibangun itu ia membuka pusat perkulakan dengan nama: “Het Engelsche Warenhuis,” Toko Serba Ada Inggris.


Masa jaya keluarga Whiteaway Laidlaw di bidang perdagangan berakhir pada 1935, saat pendirinya meninggal dunia. Bisnis ritelnya mengalami kebangkrutan, tetapi bisnis perbankannya tetap berjalan, dan masih ada sampai sekarang.


Saat Jepang masuk, Gedung tersebut diambil-alih oleh pengusaha dari Jepang, dan mengganti namanya menjadi Toko Chiyoda. Toko Chiyoda adalah toko koper dan tas terbesar di Surabaya. Tas dan koper Chiyoda sangat populer, sehingga banyak orang ikut-ikutan membuka toko tas dan koper di sekitar toko itu.


Pengaruh Chiyoda masih ada sampai sekarang, yaitu di Jalan Gemblongan yang bersambungan lurus dengan Jalan Tunjungan, dan Jalan Praban yang simpangan dengan Jalan Tunjungan, masih ada toko-toko yang menjual tas dan koper. Masa jaya Chiyoda tak lama, setelah Jepang menyerah kalah kepada sekutu, Toko Chiyoda ditutup. Pemiliknya kembali ke Jepang. Gedung itu menjadi kosong.


Saat pecah perang 10 November 1945 antara rakyat Surabaya dengan pasukan sekutu, Gedung Chiyoda digunakan sebagai salah satu basis pertahanan rakyat Surabaya dari gempuran pasukan sekutu. Akibatnya gedung itu dijadikan sasaran tembakan tank-tank pasukan sekutu, sehingga membuatnya rusak berat dan terbakar.


Setelah perang melawan sekutu berakhir, gedung eks-Toko Chiyoda itu dibiarkan menjadi gedung rusak yang tak terurus sampai dengan 1950. Saat Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset pemerintahan kolonial, Pemerintah Kota Surabaya mengambil-alih gedung tersebut menjadi aset Pemkot Surabaya.


Pada 1960, lima orang pengusaha, yaitu Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Ang mengontrak gedung tersebut dari Pemkot Surabaya. Mereka memperbaiki dan merenovasi gedung tersebut dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya, lalu membuka pusat toko grosir di situ, yang diberi nama dari singkatan nama-nama mereka sendiri, yaitu SIOLA. Sejak itulah gedung itu dikenal masyarakat Surabaya dengan nama Gedung SIOLA, sampai sekarang.


SIOLA segera menjadi kebanggan warga Surabaya di masa itu, menjadi semacam “mall” pertama di Surabaya, menjadi ikon kota Surabaya. Bahkan sampai sekarang pun ketika tulisan nama “SIOLA” sudah tidak ada lagi di gedung tersebut, ia masih tetap disebut sebagai Gedung SIOLA.

SIOLA segera menjadi kebanggan warga Surabaya di masa itu, menjadi semacam “mall” pertama di Surabaya, menjadi ikon kota Surabaya. Bahkan sampai sekarang pun ketika tulisan nama “SIOLA” sudah tidak ada lagi di gedung tersebut, ia masih tetap disebut sebagai Gedung SIOLA.

Masa kejayaan Siola berlangsung sekitar 28 tahun lamanya.


Ketika harus bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan baru dan lebih moderen ketika itu, di antaranya adalah Pasar Atum, Pasar Turi, Delta Plaza (sekarang Surabaya Plaza) dan Tunjungan Plaza (saat itu baru ada Tunjungan Plaza 1, sekarang Tunjungan Plaza 5, dan sedang dibangun Tunjungan Plaza 6), SIOLA tak mampu lagi bersaing, akhirnya ia mengikuti jejak sejarah pengusaha-pengusaha pendahulunya, ditutup pada 1998.


Di masa-masa itu di Gedung SIOLA juga sempat dijadikan pusat perdagangan barang-barang elektronika, seperti televisi, kulkas, mesin cuci, dan lain-lain, dengan nama Tunjungan Center, semacam Glodok di Jakarta, tetapi akhirnya tutup juga.


Gedung SIOLA pun kembali mangkrak tanpa penghuni, sempat diupayakan dihidupkan lagi dengan menyewakannya ke swasta, yang membuka Ramayana-Siola Department Store (1999-2008), tetapi sepi pengunjung, ditutup, sempat mengubah nama SIOLA menjadi Tunjungan City dengan  rencana membuka Matahari Departement Store, tetapi batal, sempat menjadi pusat pedagangan buah-buahan, gagal, pusat penjualan mobil bekas, gagal juga, sampai akhirnya dikembalikan kepada Pemkot Surabaya. Ketika itulah muncul gagasan untuk membuka Museum Surabaya di eks-gedung SIOLA tersebut.




Museum Surabaya

Sebelumnya, Walikota Surabaya Bu Risma sudah cukup lama ingin Surabaya punya sebuah museum sendiri yang mengoleksi benda-benda bersejarah bagi kota Surabaya. Tetapi gagasannya itu terpaksa dipendam sementara karena biaya untuk membangun sebuah gedung baru untuk museum itu diperkirakan minimal menelan anggaran sebesar 40 miliar rupiah. Bu Risma berpikir, daripada menghabiskan anggaran sebesar itu “hanya” untuk untuk sebuah museum, lebih baik anggaran itu digunakan untuk membangun infrastruktur di kota Surabaya.


Sampai suatu ketika ada celetukan dari seorang staf kepada Bu Risma, yang kami lupa siapa, mengusulkan kepadanya untuk membuka museum Surabaya di eks-gedung SIOLA yang sedang mangkrak itu. Itu suatu ide yang sangat bagus, pikir Bu Risma, tanpa perlu keluar biaya besar, gedung sudah tersedia, Museum Surabaya sudah bisa diwujudkan.

maka pada 3 Mei 2015, Museum Surabaya dibuka untuk umum untuk pertama kalinya setelah diresmikan oleh Bu Risma sebagai Wali kota Surabaya. Dibuka mulai pukul 09:00 pagi sampai dengan 14:00.

Maka perjalanan panjang salah satu gedung bersejarah di kota Surabaya,  yang kini berusia 139 tahun itu pun sampai pada dijadikannya dia sebagai Museum Surabaya dan pusat UPTSA, sekarang. Meskipun demikian, ia masih tetap disebut masyarakat Surabaya dengan nama Gedung SIOLA.